Senin, 26 Oktober 2009

KEBIJAKAN PEMERINTAH SETELAH RUNTUHNYA VOC

KEBIJAKAN PEMERINTAH KERAJAAN BELANDA (REPUBLIK BATAAFSCHE)
Kebijakan pemerintah Kerajaan Belanda yang dikendalikan oleh Prancis sangat kentara pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808 – 1811). Kebijakan yang diambil Daendels sangat berkaitan dengan tugas utamanya yaitu untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan pasukan Inggris.
Dalam upaya mempertahankan Pulau Jawa, Daendels melakukan hal-hal berikut.
1. Membangun ketentaraan, pendirian tangsi-tangsi/ benteng, pabrik mesiu/senjata di Semarang dan Surabaya serta rumah sakit tentara.
2. Membuat jalan pos dari Anyer sampai Panarukan dengan panjang sekitar 1.000 km.
3. Membangun pelabuhan di Anyer dan Ujung Kulon untuk kepentingan perang.
4. Memberlakukan kerja rodi atau kerja paksa untuk membangun pangkalan tentara.

peta belanda

Gambar 4.20. Peta Jalan Anyer – Panarukan yang dibuat oleh Daendels.
Berikut ini kebijakan-kebijakan yang diberlakukan Daendels terhadap kehidupan rakyat.
1. Semua pegawai pemerintah menerima gaji tetap dan mereka dilarang melakukan kegiatan perdagangan.
2. Melarang penyewaan desa, kecuali untuk memproduksi gula, garam, dan sarang burung.
3. Melaksanakan contingenten yaitu pajak dengan penyerahan hasil bumi.
4. Menetapkan verplichte leverantie, kewajiban menjual hasil bumi hanya kepada pemerintah dengan harga yang telah ditetapkan.
5. Menerapkan sistem kerja paksa (rodi) dan membangun ketentaraan dengan melatih orang-orang pribumi.
6. Membangun jalan pos dari Anyer sampai Panarukan sebagai dasar pertimbangan pertahanan.
7. Membangun pelabuhan-pelabuhan dan membuat kapal perang berukuran kecil.
8. Melakukan penjualan tanah rakyat kepada pihak swasta (asing).
9. Mewajibkan Prianger stelsel, yaitu kewajiban rakyat Priangan untuk menanam kopi.
Dalam melaksanakan pemerintahannya di Indonesia, Daendels memberantas sistem feodal yang sangat diperkuat VOC. Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, hak-hak bupati mulai dibatasi terutama yang menyangkut penguasaan tanah dan pemakaian tenaga rakyat.
Selama memerintah, Daendels dikenal sebagai gubernur jenderal yang “bertangan besi”. Ia memerintah dengan menerapkan disiplin tinggi, keras, dan kejam. Bagi rakyat atau penguasa lokal yang ketahuan membangkang, Daendels tidak segan-segan memberi
hukuman. Hal ini dapat dibuktikan saat Daendels menjalankan kerja rodi untuk membangun jalan raya Anyer – Panarukan sepanjang 1.000 km. Dalam pembangunan tersebut, rakyat dipaksa kerja keras tanpa diberi upah atau makanan, dan apabila rakyat ketahuan melarikan diri akan ditangkap dan disiksa. Rakyat sangat menderita.
Pengaruh kebijakan pemerintah kerajaan yang diterapkan oleh Daendels sangat berbekas dibanding penggantinya, Gubernur Jenderal Janssens yang lemah. Langkah-langkah kebijakan Daendels yang memeras dan menindas rakyat menimbulkan:
1. Kebencian yang mendalam baik dari kalangan penguasa daerah maupun rakyat,
2. Munculnya tanah-tanah partikelir yang dikelola oleh pengusaha swasta,
3. Pertentangan/perlawanan penguasa maupun rakyat,
4. Kemiskinan dan penderitaan yang berkepanjangan, serta
PENCOPOTAN DAENDELS.
Pada tahun 1810, Kaisar Napoleon menganggap bahwa tindakan Daendels sangat otoriter. Pada tahun 1811 Daendels ia ditarik kembali ke negeri Belanda dan digantikan oleh Gubernur Jenderal Janssens.
Ternyata Janssens tidak secakap dan sekuat Daendels dalam melaksanakan tugasnya. Ketika Inggris menyerang Pulau Jawa, ia menyerah dan harus menandatangani perjanjian di Tuntang pada tanggal 17 September 1811. Perjanjian tersebut dikenal dengan nama Kapitulasi Tuntang, yang berisi sebagai berikut.
1. Seluruh militer Belanda yang berada di wilayah Asia Timur harus diserahkan kepada Inggris dan menjadi tawanan militer Inggris.
2. Hutang pemerintah Belanda tidak diakui oleh Inggris.
3. Pulau Jawa dan Madura serta semua pelabuhan Belanda di luar Jawa menjadi daerah kekuasaan Inggris (EIC).

KEBIJAKAN PEMERINTAH KOLONIAL INGGRIS
Peristiwa Belanda menyerah kepada Inggris melalui Kapitulasi Tuntang (1811), menjadi awal pendudukan kolonial Inggris di Indonesia. Thomas Stamford Raffles diangkat menjadi Letnan Gubernur EIC di Indonesia. Ia memegang pemerintahan selama lima tahun (1811-1816) dengan membawa perubahan berasas liberal. Pendudukan Inggris atas wilayah Indonesia tidak berbeda dengan penjajahan bangsa Eropa lainnya. Raffles banyak mengadakan perubahan-perubahan, baik di bidang ekonomi maupun pemerintahan. Raffles bermaksud menerapkan politik colonial seperti yang dijalankan oleh Inggris di India. Kebijakan Daendels yang dikenal dengan nama Contingenten diganti dengan sistem sewa tanah (Landrent). Sistem sewa tanah disebut juga sistem pajak tanah. Rakyat atau para petani harus membayar pajak sebagai uang sewa, karena semua tanah dianggap milik negara. Berikut ini pokok-pokok system Landrent.
1. Penyerahan wajib dan wajib kerja dihapuskan.
2. Hasil pertanian dipungut langsung oleh pemerintah tanpa perantara bupati.
3. Rakyat harus menyewa tanah dan membayar pajak kepada pemerintah sebagai pemilik tanah.
Pemerintahan Raffles didasarkan atas prinsip-prinsip liberal yang hendak mewujudkan kebebasan dan kepastian hukum. Prinsip kebebasan mencakup kebebasan menanam dan kebebasan perdagangan. Kesejahteraan hendak dicapainya dengan memberikan kebebasan dan jaminan hukum kepada rakyat sehingga tidak menjadi korban kesewenang-wenangan para penguasa.
Dalam pelaksanaannya, sistem Landrent di Indonesia mengalami kegagalan, karena:
1. Sulit menentukan besar kecilnya pajak untuk pemilik tanah yang luasnya berbeda,
2. Sulit menentukan luas sempit dan tingkat kesuburan tanah,
3. Terbatasnya jumlah pegawai, dan
4. Masyarakat pedesaan belum terbiasa dengan sistem uang.
Tindakan yang dilakukan oleh Raffles berikutnya adalah membagi wilayah Jawa menjadi 16 daerah karesidenan. Hal ini mengandung maksud untuk mempermudah pemerintah melakukan pengawasan terhadap daerah-daerah yang dikuasai. Setiap karesidenan dikepalai oleh seorang residen dan dibantu oleh asisten residen. Di samping itu Thomas Stamford Raffles juga memberi sumbangan positif bagi Indonesia yaitu:
1. Membentuk susunan baru dalam pengadilan yang didasarkan pengadilan Inggris,
2. Menulis buku yang berjudul History of Java,
3. Menemukan bunga Rafflesia-arnoldii, dan
4. Merintis adanya Kebun Raya Bogor.
Perubahan politik yang terjadi di Eropa mengakhiri pemerintahan Raffles di Indonesia. Pada tahun 1814, Napoleon Bonaparte akhirnya menyerah kepada Inggris. Belanda lepas dari kendali Prancis. Hubungan antara Belanda dan Inggris sebenarnya akur, dan mereka
mengadakan pertemuan di London, Inggris. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan yang tertuang dalam Convention of London 1814. Isinya Belanda memperoleh kembali daerah jajahannya yang dulu direbut Inggris. Status Indonesia dikembalikan sebagaimana dulu sebelum perang, yaitu di bawah kekuasaan Belanda. Penyerahan wilayah Hindia Belanda dari Inggris kepada Belanda berlangsung di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1816. Inggris diwakili oleh John Fendall dan Belanda diwakili oleh Mr. Ellout, van der Capellen, dan Buyskes.

KEBIJAKAN PEMERINTAH HINDIA BELANDA
Setelah Indonesia kembali di bawah pemerintah kolonial Belanda, pemerintahan dipegang oleh Komisaris Jenderal. Komisaris ini terdiri dari Komisaris Jenderal Ellout, dan Buyskes yang konservatif, serta Komisaris Jenderal van der Capellen yang beraliran liberal. Untuk selanjutnya pemerintahanan di Indonesia dipegang oleh golongan liberal di bawah pimpinan Komisaris Jenderal van der Capellen (1817 – 1830).
Selama memerintah, van der Capellen berusaha mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membayar hutang-hutang Belanda yang cukup besar selama perang. Kebijakan yang diambil adalah dengan meneruskan kebijakan Raffles yaitu menyewakan tanah-tanah terutama kepada bangsawan Eropa. Oleh kalangan konservatif seiring dengan kesulitan ekonomi yang menimpa Belanda, kebijakan ekonomi liberal dianggap gagal. Dalam perkembangannya, kaum konservatif dan liberal silih berganti mendominasi parlemen dan pemerintahan. Keadaan ini berdampak kebijakan di Indonesia sebagai tanah jajahan juga silih berganti mengikuti kebijakan yang ada di Belanda.
a. Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa
Kegagalan van der Capellen menyebabkan jatuhnya kaum liberal, sehingga menyebabkan pemerintahan didominasi kaum konservatif. Gubernur Jenderal van den Bosch, menerapkan kebijakan politik dan ekonomi konservatif di Indonesia.
Dalam parlemen di Belanda ada 2 kubu yang berdebat, yaitu:
1. Kubu Liberal
Tanah jajahan akan mendatangkan keuntungan jika urusan ekonomi diserahkan kepada pihak swasta.
2. Kubu Konsevatif
Tanah jajahan akan memberi keuntungan bagi Belanda apabila urusan ekonomi ditangani langsung oleh pemerintah. Indonesia dinilai belum siap untuk diterapkan kebijakan ekonomi liberal.
Pada tahun 1830 mulai diterapkan aturan kerja rodi (kerja paksa) yang disebut Cultuurstelsel. Cultuurstelsel dalam bahasa Inggris adalah Cultivation System yang memiliki arti sistem tanam. Namun di Indonesia cultuurstelsel lebih dikenal dengan istilah tanam paksa.
Ini cukup beralasan diartikan seperti itu karena dalam praktiknya rakyat dipaksa untuk bekerja dan menanam tanaman wajib tanpa mendapat imbalan. Tanaman wajib adalah tanaman perdagangan yang laku di dunia internasional seperti kopi, teh, lada, kina, dan tembakau.
Cultuurstelsel diberlakukan dengan tujuan memperoleh pendapatan sebanyak mungkin dalam waktu relatif singkat. Dengan harapan utang-utang Belanda yang besar dapat diatasi. Berikut ini pokok-pokok cultuurstelsel:
a. Rakyat wajib menyiapkan 1/5 dari lahan garapan untuk ditanami tanaman wajib.
b. Lahan tanaman wajib bebas pajak, karena hasil yang disetor sebagai pajak.
c. Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak akan dikembalikan.
d. Tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menggarap tanaman wajib, tidak boleh melebihi waktu yang diperlukan untuk menanam padi.
e. Rakyat yang tidak memiliki tanah wajib bekerja selama 66 hari dalam setahun di perkebunan atau pabrik milik pemerintah.
f. Jika terjadi kerusakan atau gagal panen, menjadi tanggung jawab pemerintah.
g. Pelaksanaan tanam paksa diserahkan sepenuhnya kepada para penguasa pribumi (kepala desa).
Untuk mengawasi pelaksanaan tanam paksa, Belanda menyandarkan diri pada sistem tradisional dan feodal. Para bupati dipekerjakan sebagai mandor/pengawas dalam tanam paksa. Para bupati sebagai perantara tinggal meneruskan perintah dari pejabat Belanda. Kalau melihat pokok-pokok cultuurstelsel dilaksanakan dengan semestinya merupakan aturan yang baik. Namun praktik di lapangan jauh dari pokok-pokok tersebut atau dengan kata lain terjadi penyimpangan. Berikut ini penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam sistem tanam paksa.
1) Tanah yang harus diserahkan rakyat cenderung melebihi dari ketentuan 1/5.
2) Tanah yang ditanami tanaman wajib tetap ditarik pajak. 100 Ilmu Pengetahuan Sosial VIII
3) Rakyat yang tidak punya tanah garapan ternyata bekerja di pabrik atau perkebunan lebih dari 66 hari atau 1/5 tahun.
4) Kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak ternyata tidak dikembalikan.
5) Jika terjadi gagal panen ternyata ditanggung petani.
Dalam pelaksanaannya, tanam paksa banyak mengalami penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Penyimpangan ini terjadi karena penguasa lokal, tergiur oleh janji Belanda yang menerapkan sistem cultuur procenten. Cultuur procenten atau prosenan tanaman adalah hadiah dari pemerintah bagi para pelaksana tanam paksa (penguasa pribumi, kepala desa) yang dapat menyerahkan hasil panen melebihi ketentuan yang diterapkan dengan tepat waktu. Bagi rakyat di Pulau Jawa, sistem tanam paksa dirasakan sebagai bentuk penindasan yang sangat menyengsarakan rakyat. Rakyat menjadi melarat dan menderita. Terjadi kelaparan yang menghebat di Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan (1849). Kelaparan mengakibatkan kematian penduduk meningkat.
Adanya berita kelaparan menimbulkan berbagai reaksi, baik dari rakyat Indonesia maupun orang-orang Belanda. Rakyat selalu mengadakan perlawanan tetapi tidak pernah berhasil. Penyebabnya bergerak sendiri-sendiri secara sporadis dan tidak terorganisasi secara baik. Reaksi dari Belanda sendiri yaitu adanya pertentangan dari golongan liberal dan humanis terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa.
Pada tahun 1860, Edward Douwes Dekker yang dikenal dengan nama samaran Multatuli menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Max Havelar”. Buku ini berisi tentang keadaan pemerintahan kolonial yang bersifat menindas dan korup di Jawa. Di samping Douwes Dekker, juga ada tokoh lain yang menentang tanam paksa yaitu Baron van Hoevel, dan Fransen van de Putte yang menerbitkan artikel “Suiker Contracten” (perjanjian gula).
Menghadapi berbagai reaksi yang ada, pemerintah Belanda mulai menghapus sistem tanam paksa, namun secara bertahap. Sistem tanam paksa secara resmi dihapuskan pada tahun 1870 berdasarkan UU Landreform (UU Agraria).
Meskipun tanam paksa sangat memberatkan rakyat, namun di sisi lain juga memberikan pengaruh yang positif terhadap rakyat, yaitu:
1) terbukanya lapangan pekerjaan,
2) rakyat mulai mengenal tanaman-tanaman baru dan
3) rakyat mengenal cara menanam yang baik.
Sistem tanam paksa (cultuurstelsel) juga dikritik karena mematikan usaha perkebunan swasta di Hindia Belanda. Kritikan ini ditulis oleh pengusaha perkebunan Fransen van de Putte dalam artikelnya “Suiker Contracten” (Perjanjian gula).
b . Politik Pintu Terbuka
Pada tahun 1860-an politik batig slot (mencari keuntungan besar) mendapat pertentangan dari golongan liberalis dan humanitaris. Kaum liberal dan kapital memperoleh kemenangan di parlemen. Terhadap tanah jajahan (Hindia Belanda), kaum liberal berusaha memperbaiki taraf kehidupan rakyat Indonesia. Keberhasilan tersebut dibuktikan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria tahun 1870. Pokok-pokok UU Agraria tahun 1870 berisi:
1) pribumi diberi hak memiliki tanah dan menyewakannya kepada pengusaha swasta, serta
1) pengusaha dapat menyewa tanah dari gubernemen dalam jangka waktu 75 tahun.
Dikeluarkannya UU Agraria ini mempunyai tujuan yaitu:
1) memberi kesempatan dan jaminan kepada swasta asing (Eropa) untuk membuka usaha dalam bidang perkebunan di Indonesia, dan
2) melindungi hak atas tanah penduduk agar tidak hilang (dijual).
UU Agraria tahun 1870 mendorong pelaksanaan politik pintu terbuka yaitu membuka Jawa bagi perusahaan swasta. Kebebasan dan keamanan para pengusaha dijamin. Pemerintah kolonial hanya memberi kebebasan para pengusaha untuk menyewa tanah, bukan untuk membelinya. Hal ini dimaksudkan agar tanah penduduk tidak jatuh ke tangan asing. Tanah sewaan itu dimaksudkan untuk memproduksi tanaman yang dapat diekspor ke Eropa.
Selain UU Agraria 1870, pemerintah Belanda juga mengeluarkan Undang-Undang Gula (Suiker Wet) tahun 1870. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada para pengusaha perkebunan gula. Isi dari UU ini yaitu:
1) perusahaan-perusahaan gula milik pemerintah akan dihapus secara bertahap, dan
2) pada tahun 1891 semua perusahaan gula milik pemerintah harus sudah diambil alih oleh swasta.
Dengan adanya UU Agraria dan UU Gula tahun 1870, banyak swasta asing yang menanamkan modalnya di Indonesia, baik dalam usaha perkebunan maupun pertambangan. Berikut ini beberapa perkebunan asing yang muncul.
1) Perkebunan tembakau di Deli, Sumatra Utara.
2) Perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
3) Perkebunan kina di Jawa Barat.
4) Perkebunan karet di Sumatra Timur.
5) Perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara.
6) Perkebunan teh di Jawa Barat dan Sumatra Utara.
Politik pintu terbuka yang diharapkan dapat memperbaiki kesejahteraan rakyat, justru membuat rakyat semakin menderita. Eksploitasi terhadap sumber-sumber pertanian maupun tenaga manusia semakin hebat. Rakyat semakin menderita dan sengsara. Adanya UU Agraria memberikan pengaruh bagi kehidupan rakyat, seperti berikut.
1) Dibangunnya fasilitas perhubungan dan irigasi.
2) Rakyat menderita dan miskin.
3) Rakyat mengenal sistem upah dengan uang, juga mengenal barang-barang ekspor dan impor.
4) Timbul pedagang perantara. Pedagang-pedagang tersebut pergi ke daerah pedalaman, mengumpulkan hasil pertanian dan menjualnya kepada grosir
5) Industri atau usaha pribumi mati karena pekerja-pekerjanya banyak yang pindah bekerja di perkebunan dan pabrik-pabrik.
c . Politik Etis
Politik pintu terbuka ternyata tidak membawa kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Van Deventer mengecam pemerintah Belanda yang tidak memisahkan keuangan negeri induk dan negeri jajahan. Kaum liberal dianggap hanya mementingkan prinsip kebebasan untuk mencari keuntungan tanpa memerhatikan nasib rakyat. Contohnya perkebunan tebu yang mengeksploitasi tenaga rakyat secara besar-besaran.
Dampak politik pintu terbuka bagi Belanda sangat besar. Negeri Belanda mencapai kemakmuran yang sangat pesat. Sementara rakyat di negeri jajahan sangat miskin dan menderita. Oleh karena itu, van Deventer mengajukan politik yang diperjuangkan untuk kesejahteraan rakyat. Politik ini dikenal dengan politik etis atau politik balas budi karena Belanda dianggap mempunyai hutang budi kepada rakyat Indonesia yang dianggap telah membantu meningkatkan kemakmuran negeri Belanda. Politik etis yang diusulkan van Deventer ada tiga hal, sehingga sering disebut Trilogi van Deventer.
Berikut ini Isi Trilogi van Deventer.
1) Irigasi (pengairan), yaitu diusahakan pembangunan irigasi untuk mengairi sawah-sawah milik penduduk untuk membantu peningkatan kesejahteraan penduduk.
1) Edukasi (pendidikan), yaitu penyelenggaraan pendidikan bagi masyarakat pribumi agar mampu menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang lebih baik.
2) Migrasi (perpindahan penduduk), yaitu perpindahan penduduk dari daerah yang padat penduduknya (khususnya Pulau Jawa) ke daerah lain yang jarang penduduknya agar lebih merata.
Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai Belanda. Berikut ini penyimpangan-penyimpangan tersebut.
1) Irigasi
Pengairan (irigasi) hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan
swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.
2) Edukasi
Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka
untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan
orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.
3) Migrasi
Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatra Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri.
Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.
Berbagai kebijakan yang diambil oleh VOC maupun pemerintah Belanda mulai dari monopoli perdagangan, penyerahan wajib, sistem tanam paksa, maupun politik pintu terbuka tidak membawa perubahan pada kesejahteraan rakyat. Rakyat tetap miskin dan menderita sampai pada pendudukan militer Jepang.
6. Perbedaan Pengaruh Kolonial
Pengaruh kolonial tidak lepas dari masa pendudukan, tingkat kepentingan, dan kebijakan yang diterapkan. Tidak bisa dipungkiri bahwa Kepulauan Indonesia sangat dipengaruhi oleh pendudukan para kolonialis. Pengaruh kolonialis Barat mencakup beberapa aspek yaitu aspek ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan. Namun tingkat pengaruhnya sangat bervariasi antara Pulau Jawa dengan pulaupulau yang lain dan antara satu daerah dengan daerah yang lain. Perbedaan pengaruh ini disebabkan oleh beberapa hal berikut.
a. Kompetisi atau persaingan di antara bangsa Eropa sehingga Belanda perlu menguasai beberapa daerah untuk mencegah masuknya kekuatan lain.
b. Letak daerah jajahan yang strategis dalam jalur pelayaran dan perdagangan internasional.
c. Perbedaan persebaran sumber daya alam dan sumber daya manusia.
d. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial.
Pemerintah kolonial menjadikan Pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan sehingga aktivitas kolonial yang paling banyak berada di Pulau Jawa. Hal ini disebabkan Pulau Jawa tanahnya subur dan letaknya strategis. Selain itu juga memiliki penduduk yang lebih banyak dibanding daerah-daerah lain di Indonesia. Di samping itu di Pulau Jawa terdapat pusat-pusat perdagangan yang sudah terkenal sejak dulu.
Di Pulau Jawa, Belanda memusatkan segala kegiatannya, baik perkebunan, pertanian, pertambangan, maupun pemerintahan. Belanda membuka perkebunan-perkebunan tanaman ekspor untuk dibawa ke negeri Belanda. Selain itu juga membangun jalan raya, jalan kereta api, jembatan, maupun pelabuhan-pelabuhan. Pembangunan tersebut dilakukan dengan tenaga rakyat melalui kerja rodi.